Damailah Bangsa-bangsa!
Yesaya 2:4-5
Oleh: Pdt. Romy F. Pelupessy
Aku agak sukar memberi jawab lugas ketika ada orang bertanya: “Anda aslinya dari mana?” Atau “Anda orang apa?” Ketika sedang berada di U.S.A., aku bilang “I am from Indonesia” atau “I am Indonesian.” Itu sudah cukup bagiku dan bagi mereka. Tapi, di tanah airku, mulutku agak kelu. Saya sukar mengatakan aslinya mana. Identitasku hibrid. Saya lahir di tanah Bugis, bertumbuh dewasa di tanah Makassar. Padahal, leluhurku berasal dari negeri Ouw di pulau Saparua, di tanah yang bagi bangsa Arab menyebutnya “Al-Mulukh”, bangsa China menyebutnya “Miliku”, dan kini kita mengenalnya, “Maluku”. Itulah tanah bapa-bapa leluhurku. Namun, ibu pertiwi menyambutku dengan pesona cinta seorang perempuan Manado yang juga hibrid. Dalam dekapan cinta kami menerima rahmat Allah di tanah Borneo. Anak-anak kami pun lahir di Manado, Solo dan di Ngayogyakarto. Jadi, sukar mengatakan aku atau kami aslinya dari mana?
Aku, kami, Indonesia, bangsa yang sejak dahulu kala telah menjadi sasaran dan rebutan bangsa-bangsa penjelajah samudera. Aku, kamu, kita Indonesia: Suku Batak, Aceh, Minangkabau, Melayu, Dayak, Minahasa, Toraja, Timor, Bali, Papua, Ambon, Jawa, dan sebagainya menjadi bangsa Indonesia. Kita semua memberi diri untuk memenuhi skenario ilahi hidup dalam kesatuan, lalu meng-Indonesia. Kita semua memberi diri untuk memenuhi skenario ilahi hidup dalam kesatuan, lalu meng-Indonesia. Bukankah dengan menjadi Indonesia, kita telah meniru kesukaan Tuhan yang menyukai kebersatuan dan bukan keterbelahan? Tidakkah itu pula yang terdapat dalam jiwa doa Yesus yang mengatakan, “supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita…” (Yohanes 17:21).
Sebagaimana Yesus, kita pun beroleh karunia hidup sebagai anak-anak Allah yang rahmani dan rahimi. Allah yang menjadi Bapa dan juga berlaku sebagai Ibu bagi kita. “Dalam ke-bapaan-Nya, Allah mendemonstrasikan kekuatan dan kebaikan-Nya. Dalam keibuan-Nya, Allah memperagakan kebijaksanaan dan cinta kasih.” Begitu kata Julian of Norwich, seorang mistikus abad-14. Allah sebagai Bapa dan Ibu atas kehidupan kita
Matius bersaksi bahwa dalam khotbah-Nya di bukit, Yesus berkata, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Matius 5:9). Damai tidak datang dengan sendirinya.
Damai tidak bisa lestari, kalau kita rawat setengah hati. Damai harus kita perjuangkan dengan kerendahan hati, bagai Kristus yang mau mengosongkan diri untuk memenuhi kita dengan damai sejati. Kita semua layak disebut sebagai anak-anak Allah ketika membawa damai dalam kehidupan ini.
Namun, sayangnya saat ini damai terasa begitu mahal. Belum tentu orang yang memiliki kekuasaan hidup dalam damai. Belum tentu orang yang memiliki banyak harta hidup dalam damai. Belum tentu orang yang banyak belajar dan pandai hidup dalam damai. Belum tentu orang yang memiliki kecantikan dan ketampanan hidup dalam damai. Damai memang tidak lahir dari kekuasaan, harta, dan kepandaian. Damai tidak datang dari penampilan fisik semata. Damai adalah anugrah Tuhan. Damai adalah buah pengalaman hidup intim dengan Allah.
Semangat damai itulah yang kiranya dapat kita gairahkan dalam momentum Adven ini. Ketika kita berhimpun dalam Bait Allah yang berpusat di sekitar karangan bunga dan lilin-lilin Advent, kita merasakan harapan dan kedamaian menyelimuti kita. Kala kita menyaksikan nyala api lilin yang menari gemulai memancarkan cahaya hangat, kita teringat akan kehangatan pelukan Tuhan dan cahaya harapan-Nya yang menembus saat-saat tergelap sekalipun. Mari merasakan kehadiran Tuhan memasuki pintu batin kita dan lalu Dia duduk mendengar bisikan hati kita. Di dalam ruang keheningan bersama Tuhan, kita pun sanggup mendengarkan suara cinta Tuhan.
Di tengah tantangan konflik dan ancaman perpecahan di mana-mana, mari kita renungkan bahwa semua manusia mengharapkan kepastian, tapi Advent mengingatkan bahwa Tuhan bisa bekerja dalam ruang ketidakpastian. Adven adalah “ruang antara” yang Tuhan sediakan bagi kita; antara menyambut perayaan kelahiran Yesus dengan menyambut kedatangan- Nya kali kedua. Ingatlah, Tuhan hadir dalam “ruang antara”, antara harapan dan tantangan, antara tawa dan tangis, antara sehat dan sakit, antara semangat dan keletihan.
Advent mengingatkan kita bahwa walau hidup penuh pergumulan, damai Tuhan tetap hadir dan menguatkan walau air mata tumpah. Damai Tuhan tetap hadir dan memberi penghiburan. Walau manusia mengecewakan. Damai Tuhan tetap hadir karena Tuhan setia dan tidak pernah mengecewakan. Dan, walau kita dibenci tanpa alasan yang kita pahami,damai Tuhan tetap hadir karena Tuhan amat sayang pada kita!
Apapun bangsa bangsamu, kita memiliki tugas yang sama. Menempa pedang-pedang kebencian menjadi mata bajak yang melebarkan area persahabatan dan memperdalam lahan persaudaraan. Apapun suku bangsamu, kita memiliki peran mulia. Menempa tombak-tombak keangkuhan menjadi pisau pemangkas permusuhan. Marilah berjalan di jalan damai. Jalan terang Tuhan. Jalannya anak-anak Allah. []rfp