Oleh : Pdt. Boydo Rajiv Hutagalung (Pendeta Jemaat, Ketua 3 GPIB Marga Mulya)
ilustrasi gambar : peakpx.com |
Di masa kecil saya dan adik sering diajak oleh orang tua kami untuk berlibur ke Kota Parapat, bermain di pinggir pantai Danau Toba atau menyeberang ke Pulau Samosir. Saat akan bermain di perairan danau ataupun menyeberang, orang tua saya selalu berpesan untuk bersikap sopan dan santun. Kira-kira begini pesannya, “Nanti saat bermain di pantai, jangan buang sampah sembarangan di pantai atau di danau, jangan ngomong yang kasar atau mengucapkan serapah, dan jangan bertengkar sama adek, ya nak. Danau Toba mendengar dan melihat. Jangan berbuat yang tidak baik dan tidak pantas.” Pesan orang tua saya barang kali terdengar seperti tahayul untuk menakut-nakuti anak-anak. Tetapi jika kita renungkan esensi pesan dan keyakinan itu mengandung suatu ajaran yang mengajak kami untuk memperlakukan Danau Toba sebagai entitas yang hidup dan terhormat. Pemahaman itu justru membantu kami, anak-anaknya, untuk hidup dengan menghormati lingkungan alam di manapun kami berada.
Di dalam Alkitab, kita sering bisa menemukan bagaimana alam dan berbagai unsurnya digambarkan memiliki kehidupan. Misalnya dalam Mazmur 29 : 1-11, Raja Daud mengajak kita untuk menyadari kedahsyatan berbagai fenomena alam yang membuat batin kita gentar. Dari fenomena-fenomena itu Daud mengajak kita untuk menyembah Tuhan. Digambarkan suara Tuhan : dapat membuat fenomena guntur di atas air (ay.3), dapat mematahkan pohon-pohon aras (ay.5), dapat membuat gunung Libanon melompat-lompat seperti anak lembu dan gunung Siryon seperti anak banteng (ay.6), dapat membuat semburan nyala api (ay.7), dapat membuat padang gurun Kadesh-Barnea gemetar (ay.8), dapat membuat rusa betina yang hamil menjadi melahirkan (ay.9), dapat menggunduli hutan (ay.9). Fenomena-fenomena yang agak seram itu dikiaskan sebagai “suara TUHAN”. Tampaknya Daud ingin menyatakan bahwa dalam peristiwa alam yang begitu dahsyat dan menakutkan kita bisa menemukan pesan dari TUHAN yang harus kita perhatikan dengan seksama.
Manusia harus menyadari bahwa bumi dan seluruh unsur lingkungan hidup adalah tahta kehadiran TUHAN. Planet Bumi adalah rumah kehadiran Allah dan kita tidak boleh mencemarinya. Kita tidak boleh bersikap sewenang-wenang terhadap lingkungan alam di sekitar kita. Setiap tindakan yang kita lakukan terhadap alam, hal itu juga “mengenai hati TUHAN”. Apabila kita merawat lingkungan, maka kita sedang menyenangkan hati TUHAN dan menunjukkan rasa hormat kepada kehadiran TUHAN. Namun ketika kita terus menerus merusak alam dengan berbagai pola hidup yang tidak ramah terhadap lingkungan, maka hal itu adalah suatu tindakan yang mengotori tahta kehadiran TUHAN bahkan melukai hati Sang Pencipta.
Saat ini bumi kita semakin memanas, penyakit-penyakit semakin banyak jenisnya, bencana-bencana alam semakin sering, beruntun, dan memakan banyak korban. Inilah fenomena alam yang mengerikan versi kita di masa kini. Dapatkah kita mendengarkan “suara TUHAN” di sana? Mungkinkah dari krisis alam yang terjadi kita bisa mendengarkan teguran “suara TUHAN”? Semoga kita bisa merenungkan bahwa krisis lingkungan hidup yang terjadi adalah bagian konsekuensi dari pola hidup manusia yang tidak menghormati lingkungan hidup dan cenderung melulu mengeksploitasinya. Karena itu, jika kita menghayati bahwa berbagai anomali fenomena alam di masa kini sebagai bagian dari suara TUHAN di tengah kehidupan kita, saatnya kita bertobat dan hidup baru. Mari kita ubah perilaku pribadi dan keluarga yang tidak ramah lingkungan menjadi perilaku yang mencegah kerusakan lingkungan serta aktif melestarikan lingkungan hidup. Ingatlah, bumi adalah Taman Ciptaan Allah. Tugas kita sebagai Imago Dei adalah memeliharanya! -brh